Senin, 26 Mei 2014

Filosofi DNA dan Revolusi di Industri Telekomunikasi



Bertransformasi atau mati! Inilah yang harus dipilih Telkomsel guna menghadapi revolusi di industri telekomunikasi. Terlebih, ancaman tak hanya datang dari operator lokal lainnya, melainkan juga dari raksasa macam Google, Facebook, dan masih banyak lagi.

DNA -- Device, Network dan Application -- jadi filosofi bisnis yang dipilih Direktur Utama Telkomsel ALex J. Sinaga untuk menyambut revolusi.

Ibarat mengemban misi penuh tantangan mengarungi lautan yang lebih luas, sang nakhoda pun memegang penuh kemudi agar kapal besar Telkomsel bukan malah menghantam karam.

Seperti apa filosofi DNA yang dimaksud Dirut Telkomsel? Berikut pemaparannya dalam sesi wawancara terbatas dengan segelintir media, termasuk detikINET.

Alex mulai bercerita dengan mengungkapkan 'keberuntungan' Indonesia yang majunya belakangan di industri telekomunikasi. Sehingga punya waktu lebih banyak untuk menyambut perubahan ekstrim di industri ini.

Sebagai tolak ukur, ia memberi gambaran tentang industri telekomunikasi di Amerika Serikat dan Eropa. Di Negeri Paman Sam, dulu yang terkenal adalah operator AT&T, tapi sekarang pamornya sudah tenggelam dengan nama besar Google.

Di Eropa dulu sangat menggaung nama France Telecom dan British Telecom, tapi sekarang yang dominan adalah Vodafone

Adapun di Asia, Jepang punya contoh sukses yang bisa ditiru, yakni NTT DoCoMo, Telkomnya Negeri Sakura. "Tapi kalau sekarang yang terkenal itu bukan (nama) NTT-nya, tapi DoCoMo-nya yang telah sukses bertransformasi," kata Alex.

"Tapi benang merahnya adalah revolusi industri ini. Saya sebut revolusi karena memang ekstrim, sejak lahirnya IP (Internet Protokol). Sehingga industri ini bergerak, terjadi revolusi di mana-mana yang di-trigger oleh IP, di-trigger oleh teknologi," ungkapnya.

Lantas, bagaimana dengan revolusi industri telekomunikasi di Indonesia? Alex coba membaginya mengikuti ekosistem yang disebut sebagai DNA: Device, Network dan Application.

"Dulu ini tidak ada, cuma N (Network). Termasuk zaman pesawat telepon itu dulu punya Telkom, padahal itu device. tapi karena di-drive oleh teknologi IP, yang jauh lebih berkembang itu justru A (Application). Karena A jauh lebih mudah berkembang dengan basisnya IP, itu nantinya muncul Google, Facebook, dan Twitter. Kita menyebutnya OTT (Over The Top)," Alex menjelaskan.

Operator sendiri dinilai dalam kondisi terjepit dengan N. Dimana investasinya terdiri dari dua hal: orang dan perangkat. Sementara di A, investasinya itu orang. Kalau di D (Device), yang dominan itu juga dua -- yaitu riset dan pabrikasi -- tapi lama-lama jadi satu.



Alex dengan tegas menyebut pertumbuhan yang luar biasa terjadi A alias aplikasi. Sehingga penyedia perangkat (D/device) dan jaringan (N/network/operator) dalam keadaan terjepit. Salah langkah, siap-siap saja terperosok.

A dianggap punya value yang lebih tinggi ketimbang N. Contoh sederhananya, banyak yang mengeluh dengan tarif telepon dan SMS, tetapi ketika pelanggan mengeluarkan uang Rp 10 ribu untuk beli RBT (ring back tone), malah tak mempersoalkan

Di sisi lain, N alias operator merupakan bisnis dengan biaya investasi yang sangat tinggi, sehingga agak sulit untuk bertransformasi 'dalam satu malam'. Berbeda dengan A yang lebih mengandalkan orang, sehingga dapat mengikuti perkembangan zaman lebih cepat.

Alhasil, baik D dan N kini mulai merambah ke A agar lebih eksis. Lihat saja, vendor ponsel kini juga berlomba-lomba punya toko aplikasi, sedangkan operator mau tak mau juga harus mengikuti perkembangan zaman dengan melirik A atau yang belakangan lebih populer dengan sebutan digital lifestyle.

"Memang A dan D gak jalan kalau tanpa N, tapi kan bisnis di mana-mana itu yang ditanya value. Market yang menentukan value, ternyata value dominan terhadap A. D juga enggak, ya itu tadi, kalau produk di China, mau yang harga berapa saja juga ada? Jadi hampir gak ada value D-nya," papar Alex.

"Justru value-nya A yang ada di D. Jadi kesimpulannya, yang punya value lebih tinggi itu A. Makanya N terjepit, karena modalnya orang dan perangkat, heavy investment," lanjutnya.

Maka tak ada pilihan, jika N tak mau mati harus bertransformasi. Tak bisa cuma berpikir untuk memperluas ekspansi jaringan. Operator juga harus bisa membaca arah masa depan industri.

Terkait A, pilihannya ada dua: mau bersaing atau berkolaborasi? Ada operator yang salah pilih sampai akhirnya dia mati. Sementara yang cerdas memilih untuk berkolaborasi sehingga dia selamat malah jadi pemimpin di industri. Untungnya Indonesia tadi, punya waktu lebih banyak dan punya contoh orang yang gagal dan berhasil.

"Yang berhasil itu ternyata yang tidak bersaing, tapi yang berlokaborasi dan mengekspansi dirinya ke kiri dan ke kanan. Sehingga irisan D, N dan A itu semakin besar. Prediksi saya, mungkin tahun 2020 atau 2025, itu D, N dan A itu jadi satu lingkaran," kata Alex

Menurut Alex, yang terancam itu sejatinya tak cuma N (operator), tetapi juga D (penyedia device). Siapa yang tidak pernah memakai ponsel Nokia? Namun kini, Nokia sudah dibeli Microsoft, yang notabene sebagai pemain di bisnis A.

"Jadi banyak yang hilang juga D itu. Lalu ada yang bertahan gak? Ada yang muncul baru gak? Ada! Karena ternyata D itu sesungguhnya bukan D, pada akhirnya D itu A. Karena cangkangnya apapun yang ditanya sistem operasinya apa, jadi yang ditanya A-nya," Alex menegaskan.

TelCo Menjadi DiCo

Dirut Telkomsel juga melontarkan terminologi baru, yaitu DiCo yang berasal dari kata Digital Company. Nah, DiCo inilah yang ingin dicapai oleh Telkomsel. Di mana salah satu operator telekomunikasi yang sukses bertransformasi dari TelCo menjadi DiCo adalan DoCoMo.

Telkomsel sendiri disebut Alex, sejauh ini sudah berada dalam step 2. Mereka masih tetap melakukan ekspansi jaringan ke berbagai wilayah termasuk lebih memprioritaskan 3G. Di sisi lain, mereka juga telah mulai bertransformasi dari tahun 2012 ke arah digital company.

"Visi Telkomsel, N harus benar dulu, karena D dan A gak bakal bisa apa-apa di Indonesia kalo N gak ada. Jadi dari step 1, Telkomsel sudah punya visi harus jadi benar-benar N. Itu sebabnya secara bertahap sampai tahun 2010, Telkomsel sudah meng-cover 95% populasi Indonesia, 2013 sudah 98% populasi. Mulai dari nol kilometer di Aceh sampai di Papua. Makanya kita sekarang punya lebih dari 74.300 BTS, dan tiap tahun terus bangun minimum 10 ribu BTS," Alex mengungkapkan

"Itu yang mendasari Telkomsel mengklaim sebagai Paling Indonesia, karena coverage meng-cover 98% populasi, seluruh kecamatan, sampai 30 ribuan lebih desa. Jadi kalau ditanya, Telkomsel di semua kecamatan sudah ada, ada gak operator lain yang hadir di seluruh kecamatan? Gak ada. Jadi kalau diukur dari situ, berani dong kita mengklaim Paling Indonesia. jadi sampai sekarang pelanggan Telkomsel 135 juta, karena tiap hari bertambah. maka kita terus investasi di N," lanjutnya.

Saat ini kontribusi revenue Telkomsel masih dominan disumbang dari N, yang isinya dari voice dan SMS dengan proporsi 78%. Artinya, market demand untuk itu masih ada. Tetapi pertumbuhannya menurun. Dulu pernah sampai growth 25% , tapi sekarang SMS paling 4%, bukan tidak mungkin pertumbuhannya esok hari menjadi 0%.

Sehingga Telkomsel tak mau lupa diri, dimana step 2 juga harus mereka rencanakan dengan matang. Karena kalau kita di step 1 terus, lama-lama tidak ada harganya, selesai tutup.

Dari tahun 2012, Telkomsel sudah mendeklarasikan betransformasi ke Telkomsel 2.0. Strateginya adalah masuk ke A, ke D belum.

"Kenapa gak masuk ke D, karena pada akhirnya D itu juga A. Cangkangnya itu, ya barang mati saja. Artinya adalah, N itu merembet ke A, mengekspansi diri ke A tapi sekaligus ke D juga. Karena D sejatinya A," tegas Alex.

Harapan Telkomsel tentu juga bakal melangkah ke step 3. Tapi kalau sekarang anak usaha Telkom itu masih belum berani menyebut sebagai DiCo. Baru nanti di tahun 2015, paling tidak Alex berani menyebut Telkomsel sepertiga DiCo. Sebab sepertiga revenue-nya berasal dari digital bisnis. Adapun di tahun 2019, baru Telkomsel ingin mendeklarasikan sebagai DiCo, bukan Telco lagi.

"Jadi kalau ditanya, 19 tahun Telkomsel ini sudah ada di mana. Yaitu ada di step 2, karena di tahun 2012, Telkomsel ekspansi ke digital. Ada satu direktur yang saya tugaskan khusus untuk mengelola digital service, yaitu Direktur Planning & Transformation Business. Sehingga harapan kita di tahun 2015, sepertiga revenue Telkomsel sudah harus dari A. Sekarang masih 22% dengan growth 36%. Jadi memang growth tinggi dan harus berpikir keras untuk bisa jumping dari 22% ke 33%, tinggal satu setengah tahun. Di tahun 2014 target dari digital bisnis menjadi 25%," sebut Alex

Berguru ke Silicon Valley

Dengan kondisi terjepit, sejatinya operator -- semisal Telkomsel -- juga punya keuntungan. Yakni mereka punya infrastruktur jaringan. Sedangkan model bisnis A, lebih mengandalkan orang, kreativitas digital dan inovasi.

Makanya dengan terjun ke A dari jauh-jauh hari, maka Telkomsel diharapkan punya modal kuat untuk bersaing di tahun 2019 nanti, tak lagi jadi pihak yang terjepit.

"Karena apa? Karena saya sudah masuk ke A. Dan jangan lupa, saya punya N. Yang lain mungkin punya A, tapi saya punya N. Tapi saya mau compete sama mereka gak? Tidak, karena di ekosistem saling kolaborasi. Tapi saya punya N, bisnis modelnya sudah kebayang, 2 berbanding 1," lanjut bos besar Telkomsel yang punya suara lantang ini.



Ya, ketimbang bersaing head to head. Terhadap A alias pemain di bisnis OTT, Telkomsel lebih memilih untuk berkolaborasi. Di samping tentunya, operator yang identik dengan warna merah ini mempersiapkan diri dengan menyiapkan amunisi bisnis A sendiri, sehingga tak terus bergantung dengan pemain luar.

Saking mempersiapkan dirinya, Telkomsel bahkan sudah mulai mengirimkan para karyawannya untuk belajar ke kampus-kampus bonafit di berbagai negara. Mulai dari Harvard, Boston, Eropa dan Australia. Tahun 2013 lalu, ada 65 orang yang dikirim, menyusul 50 orang lagi di tahun 2014.

Sebelum tamat, mereka pun diwajibkan untuk magang atau menimba ilmu di perusahaan-perusahaan di sana, seperti di Silicon Valley atau Bangalore. Dan mereka-mereka itulah yang disebut Alex akan menggiring Telkomsel ke arah transformasi

"Artinya apa? Betapa pentingnya people di industri ini. Tiga tahun lagi mungkin saya gak relevan lagi jadi Dirut, gak usah 5 tahun dan 10 tahun. Cara mengukurnya gampang, suruh saja Dirut Telkomsel 5 tahun lalu untuk memimpin sekarang, pasti kelenger. Saya juga mengukur diri, lima tahun lagi saya apa bisa mengikuti perubahan?" kata Alex.

Sedangkan mengapa karyawan terbaik Telkomsel itu tak dikirim untuk belajar di kampus dalam negeri, Alex punya pembelaannya. "Yaitu karena industri A seperti ini tidak di-drive dari Indonesia tapi di negara maju. Sedangkan di India banyak juga, makanya ada yang disuruh magang ke Bangalore. Jadi karena lahirnya revolusi industri dari sana (negara maju) maka kita belajarnya k sana".

Jadi intinya, transformasi yang tengah dijalankan Telkomsel bukanlah berganti haluan seluruhnya. Sebab bisnis lama tetap digarap, sembari merintis bisnis masa depan.

"Artinya, kita sedang melakukan transformasi karena perkembangan dari industri itu sendiri. Namun komitmen kita juga masih sama, yaitu harus paling Indonesia, karena kita milik Indonesia," pungkas Alex.

Filosofi DNA dan Revolusi di Industri Telekomunikasi bersumber dari detik.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar